Travelling #130304: Berburu Sertifikat TOEFL ‘Kilat’

Mungkin cerita ini biasa-biasa aja, tapi sayang kalau terlupakan. Petualangan ini berawal dari sebuah usaha untuk melengkapi syarat-syarat pendaftaran pada sebuah lowongan kerja. Alkisah hari itu adalah H-7 deadline pendaftaran, dan posisi saya di Bojonegoro (tugas kerja lapangan). Berbagai berkas lamaran sudah diupload waktu di Jogja, kecuali sertifikat TOEFL (dengan skor minimum 450). Sayangnya, saat itu saya tidak punya sertifikat yang dimaksud. Memang sih beberapa hari sebelumnya sudah berencana ikut tes, tapi batal karena jadwal yang tiba-tiba padat sebelum pergi keluar kota. Alih-alih ikut tes, ndaftar saja tidak sempat. Sempat terlintas di pikiran untuk mengedit sertifikat punya teman. Haha. Tapi tentu saja itu tidak masuk pilihan. Sesuatu yang dimulai dengan kebohongan niscaya tidak akan barokah. Akhirnya, malam itu aku berburu informasi di mana gerangan bisa mendapatkan nilai TOEFL sebelum garis mati (deadline).

H-7 (Kamis)

As usual, sasaran pertama adalah mbah Google. Salah satu kata kunci yang dipakai adalah “tes toefl bojonegoro”. Tidak ada tanda-tanda ada tes toefl di kota ini. Setelah kata kunci diganti berkali-kali, akhirnya… tidak ketemu juga 😦 Sasaran pun digeser ke kota tetangga, Cepu. Ternyata di sana juga tidak ada. Setelah itu pindah ke kota lain lagi, Kediri. Alhasil saya menemukan sebuah website milik sebuah lembaga pelatihan TOEFL yang berlokasi di Pare, Kediri. Setelah menghubungi CP yang ada, ternyata di sana hanya toefl preparation. Katanya, lokasi tes TOEFL terdekat ada di Kota Apel, Malang. Setelah mencari-cari lagi, ketemulah website milik LBPP LIA Malang. Rupanya tes toefl hanya ada sebulan sekali, setiap hari jum’at kedua. Hasilnya pun keluar setelah sepekan. Pupus sudah harapan bisa tes di sekitar TKP.

H-6 (Jum’at)

Perburuan kemudian berlanjut ke Jogja, kembali ke kota asal. Sempat nemu blog milik lembaga yang namanya Batania LTI. Tapi kayaknya udah tutup nih lembaga. Saya coba kirim pesan ke SMS centernya dan tidak ada balasan. Lalu dapat lagi website LIA Jogja, yang sebelumnya pernah saya kontak via YM. Karena di ym lama responnya, via sms saya tanya jadwal tes di sana. Dibalas:  “Slmt sore, tes TOEFL di LIA namanya EPT (TOEFL Prediksi). Jadual tiap Sen atau Sel pkl 09.00. Pendaftaran bisa dilakukan pada hari tes. Biaya Rp.225rb. Mohon membawa fotokopi ktp/sim serta yg asli pd saat pendaftaran. Krn koreksi di JKT, maka hasil paling cepat 1 minggu. trm ksh.” Lah, ternyata hasil tesnya bakal keluar setelah deadline -_- Tetapi dari sms inilah, kelak kemudian ada pencerahan.

H-5 (Sabtu)

Keyword berikutnya adalah “lia jakarta”. Ketemulah sebuah blog berisi jadwal tes toefl di LIA Jakarta. Di sana tertulis bahwa di LIA Pusat (Pengadegan, daerah Pancoran) bisa mengeluarkan sertifikat hari itu juga. Kemudian kusambangi website LIA, dan saat itu juga saya telepon nomor kantornya. Dari percakapan 2 menit itu saya kemudian tau bahwa di LIA Pengadegan Jakarta ada fasilitas yang namanya ODS (One Day Service) setiap hari Rabu, yaitu mengeluarkan sertifikat TOEFL pada hari itu juga, meskipun ada biaya tambahannya. Untuk menghindari antrian panjang saat tes, pendaftaran maksimal H-1. Walhasil, untuk bisa ikut tes hari Rabu depan, berarti saya harus sudah berada di Jakarta hari Selasa. Lalu gue harus tidur di mana?

Nah, saatnya melancarkan jurus silaturrahim. Seorang teman SMA yang dulu kuliah di Jakarta saya tanya, Pancoran itu di Jakarta mana (Kemudian baru nyadar, nggak penting banget smsnya, kan ada internet sama GPS :|). Habis tau kalo ada di Jakarta selatan (thanks anyway :D), kutengok hpku, kuketik sms, lalu kukirimkan kepada seorang kakak kelas SMA yang sudah jadi penduduk Jakarta. Saya tanya, beliau posisinya lagi di mana. Nah, Alhamdulillah cuocok sekali. Posisinya lagi di rumah dan habis pulang dari offshore. Itu berarti selama 2 pekan ke depan beliau akan berada di onshore. Lebih lanjut lagi, berarti posisi saya aman. Alias bisa numpang nginep di rumahnya. Haha. Setelah penginapan terjamin (padahal beliau belum tau apa-apa), langkah berikutnya adalah berburu tiket.

Tentu saja bukan tiket pesawat. Moda transportasi yang paling relevan dengan kantong dan waktu yang saya punya adalah kereta. Saya sambangi www.kereta-api.co.id dan melihat-lihat daftar harga. Rupanya booking via online itu maksimal H-2. Sebenarnya pengen berangkat sehari lebih awal biar bisa jalan-jalan, tapi daripada jauh-jauh ke stasiun di kota cuma buat beli tiket, mending beli online. Jadinya saya booking tiket Ekonomi AC (yang ternyata lebih mahal dari tiket kereta bisnis yang udah habis) untuk berangkat Senin malam, sekaligus tiket kereta bisnis untuk pulang pada Rabu sore. Berhubung kedua tiket itu harus dibayar maksimal 3 jam setelah pemesanan, saya pun meluncur ke ATM terdekat yang jaraknya 10 km dari base camp (lumayan pelosok kan?). Karena transaksi di ATM gagal, akhirnya saya bayar di Indomaret dan dapet bonus 2 pak kopi instan :D.

H-4 (Ahad)

Hari ini standby di base camp. Seluruh kegiatan akuisisi ditunda karena suatu sebab. Di sela-sela kesibukan mencari kesibukan, hari itu saya dikirimi MMS oleh sang calon tuan rumah, berupa foto bareng ondel-ondel di TMII. Hmm…

H-3 (Senin)

Hari ini juga masih standby di base camp. Karena ngantuk, akhirnya tidur siang hingga menjelang sore. Setelah packing ala kadarnya (mengingat barang yang dibawa ke sini juga cuma itu-itu aja), saya diantar Mas Guntur, Baroto, & Dayat ke stasiun buat menukarkan tanda pembayaran dari indomaret dengan tiket asli. Berhubung keberangkatan kereta masih lama, kami berempat jalan-jalan dulu ke alun-alun kota Bojonegoro. Kami menikmati jagung bakar dan es buah sebelum akhirnya kembali ke stasiun. Berbekal air mineral 1,5 liter, saya masuk kereta. Tempat duduk 4A saya sudah diduduki seorang laki-laki dewasa. Tidur pula. Akhirnya saya duduk di kursi 3B yang ada di hadapannya. Namanya juga kereta ekonomi, tempat duduknya berhadap-hadapan. Di sebelah mas-mas yang lagi tidur, duduk tepat di depanku adalah seorang lelaki berusia sekitar 60-an dari Lamongan.

Di sebelah kiri saya duduk seorang wanita berjilbab rapi yang usianya sekitar 30-35 tahun (asal nebak aja sih). Kereta mulai berjalan sekitar pukul 19.00, telat beberapa menit dari jadwal. Baru beberapa detik duduk, wanita ini bertanya, sudah masuk waktu isya’ belum ya? Karena dari tadi nggak denger suara adzan, saya bilang aja nggak tau. Kebetulan saya juga sudah menjamak dengan sholat maghrib (status saya juga musafir waktu itu). Karena kebetulan lagi browsing di hp, saya buka www.jadwalsholat.org. Pas udah masuk sholat isya, ibu-ibu itu saya beri tahu. Habis sholat, saya tanya asalnya dari mana dan mau ke mana. Ternyata dari Surabaya mau ke Bogor, transit di Jakarta sebelum naik KRL. Beberapa menit kemudian dia membuka dus nasi buat makan malam, dan saya baru sadar kalo nggak bawa makanan apa-apa 😦 Walhasil, sampe Jakarta saya cuma berbekal air mineral dan sisa jagung bakar + es buah yang sudah masuk perut.

H-2 (Selasa)

Tidak banyak perbincangan kami waktu itu, tetapi saya dapat info berharga. Habis sholat shubuh, atas saran darinya, saya mengubah rencana stasiun tujuan. Sebelumnya, saya berencana turun di stasiun Jatinegara, lalu naik Busway menuju Cawang. Saya akhirnya ikut turun di Stasiun Kota, lalu bersama ibu itu sambil membawakan tasnya, naik KRL dengan gratis bermodalkan tiket kereta Gumarang yang baru saja kami naiki.

Begitu masuk Stasiun Kota, saya merasa takjub. Orang-orang yang baru saja turun dari KRL itu berjalan dengan sangat cepat ke arah yang sama, kecepatan yang hampir sama, melihat lurus ke depan, tanpa mengeluarkan kata-kata. Tampaknya mereka sedang mengejar waktu.  Saat itu jam masih menunjukkan pukul 6 pagi. Masuk KRL, saya duduk bersebelahan dengan ibu-dari-surabaya tadi. Kami berdua diam. Semua yang ada di gerbong itu diam. Suasana kendaraan umum di Jakarta relatif sama, jarang ada yang mengobrol kalau tidak saling kenal. Sampai di stasiun Cawang, saya pun berpamitan dengan ibu-dari-surabaya itu setelah mengucap salam. Saya bersyukur bisa saling membantu meski tidak pernah tahu siapa namanya. Yang jelas kami merasa bersaudara karena sama-sama Muslim.

Begitu turun dari KRL, saya keluarkan GPS (yang saya pinjam dari tempat kerja). Tinggal 500-an meter menuju kantor LIA, saya pun jalan kaki. Waktu itu sekitar jam 06.30. Yakin kantor jam segitu belum buka, dan berhubung saya lapar, akhirnya mampir di warung makan dekat situ. Durasi makan sengaja saya bikin lama, berharap fotokopian di depan warung segera buka. Maklum, saya belum sempat fotokopi KTP untuk persyaratan mendaftar tes. Hampir sejam di warung itu, lama-lama kok malu juga. Hehe. Saya pun cabut dan mencari masjid.

Setelah menemukan masjid yang ternyata kamar mandinya tidak mendukung saya untuk numpang mandi, saya akhirnya hanya melepas panggilan alam dan mengerjakan sholat dhuha. Sudah hampir jam 8 pagi, saya menuju ke kantor LIA. Setelah mampir di fotokopian yang berada persis di depan jalan masuk ke kantor, jam 8 tepat saya menuju resepsionis. Ternyata belum ada orang. Sama pak satpam disuruh nunggu 10 menitan. Sambil nunggu, saya sms sang tuan rumah. Nanyain, hari ini mau pergi ke mana. Nah, cocok sekali, beliau nggak pergi ke mana-mana. Saya bilang kalau akuisisi sudah dilanjutkan kembali. (Tapi kan saya nggak bilang kalau ikut ke lapangan :D). Setelah mengisi formulir dan membayar biaya tes, saya mendapatkan tanda bukti pembayaran beserta daftar beberapa barang yang harus dibawa: Pensil 2B, penghapus, pulpen, dan JAKET!

Singkat cerita, setelah mendaftar tes, saya pun jalan kaki menuju stasiun Cawang lagi dan membeli tiket KRL arah Lenteng Agung. Turun dari kereta setelah perjalanan sekitar 20 menit, saya berharap ada angkot yang sekali jalan ke daerah Jagakarsa. Tidak ada tanda-tanda angkot lewat situ, ojek pun jadi pilihan. 15 menit kemudian, sampailah di rumah tuan rumah. Setelah mengetuk pintu, beberapa saat pun pintu dibuka. Aha! Mas Jauhar, sang tuan rumah, terkejut melihatku berdiri di depannya. Alhamdulillah. Surprise kali ini sukses. Beliau hampir tak percaya saya datang secepat itu. Seperti mimpi katanya. Hehe.

Setelah mandi, kami mencari spot untuk jalan-jalan. TMII pun terpilih, menyingkirkan opsi lubang buaya. Setelah sampai di TKP menggunakan angkot dan bus, kami pun menjelajah beberapa tempat di sana. Beberapa rumah adat kami sambangi sebelum akhirnya menuju Museum Minyak dan Gas Bumi. Rupanya saat itu museum sepi. Pengunjung hanya kami berdua, sehingga kami bebas menekan-nekan tombol diorama seenaknya. Bahasa jawanya: nrithik. Saya begitu terkesan dengan benda-benda koleksi di sana. Begitu lengkap dan asli. Kami juga sempat nonton beberapa film tentang migas, dan juga narsis di beberapa tempat. Di tengah-tengah asyiknya menonton salah satu film, tiba-tiba listrik mati. Haha, tak terasa kami di sana hingga museum tutup. Keluar dari area museum, kami baru sadar kalau sudah jauh melebihi jadwal buka.

Tak terasa kami berjalan begitu jauhnya, sampai memutari danau yang berisi miniatur pulau-pulau Indonesia. Waktu sudah hampir maghrib. Kami pun kembali ke rumah, setelah mampir sholat maghrib sekalian isya’ dan juga makan malam. Malam itu saya lelah sekali, hingga tertidur di depan tv sambil memegangi buku yang baru sempat dibaca 1 halaman. Untungnya saya bisa dibangunkan oleh Mas Jauhar lalu pindah ke kasur di kamar tidur. Malam itu saya ‘nganyari’ kasur itu untuk kedua kalinya.

H-1 (Rabu)

Bangun tidur, lalu sholat shubuh, lalu mandi. Saya harus sudah sampai di LIA sebelum jam 07.30. Tapi waktu itu jam 06.30 aja belum sarapan. Haha, payah bener saya ngatur waktunya. Eling mas Ali, iki Jakarta! Perjalanan 5 menit kalau lagi macet bisa jadi sejam. Akhirnya dengan bantuan Mas Jauhar, saya dibuatkan mie instan untuk mengisi perut biar nggak kelaparan apalagi pingsan saat tes nanti. Dengan berat hati, saya pun berpamitan dengan mas Jauhar. Bersyukur sekali saya ke sana pas beliau sedang libur. Saya pun segera naik angkot, lalu pindah ojek sampai stasiun Lenteng Agung. Setelah membeli tiket KRL, saya pun berharap-harap cemas. Kereta tak kunjung datang, padahal sudah jam 7 pagi. Hingga akhirnya kereta datang…

Subhanallah! Ini kereta apa kaleng sarden?! Sudah penuh orang dan berjejalan. Ah, daripada terlambat, mending nekat saja. Asal ndorong badan masuk ke kereta. Sampai-sampai pintu gerbong terganjal sama badan, nggak nutup-nutup. Sepadat-padatnya saya naik angkutan umum, baru kali ini merasakan sensasi sesak napas yang luar biasa. Mau gerak aja susah. Memutar badan aja nggak bisa. Pasrah pokoknya. Mungkin ini kali ya, alasan orang lebih suka naik kendaraan pribadi. Sungguh berasa jadi orang Jakarta. Saya pun membayangkan bagaimana jadinya nanti jika saya bekerja di kota ini, lalu naik KRL setiap hari. Semoga tidak stress -_-.

Sampai di stasiun Cawang, jam menunjukkan pukul 07.27 (kalo nggak salah ingat). Saya pun melangkahkan kaki secepat-cepatnya. 500 meter dalam waktu 3 menit sepertinya impossible. Melihat angkot yang lagi ngetem, saya berusaha menghampirinya. Namun sayang, angkot sudah jalan duluan. Saya pun semakin mempercepat langkah. Waktunya nekat. Ada mas-mas naik motor sendirian, saya hadang. Pede pokoknya. Haha, nebenglah saya sampe depan jalan masuk kampus LIA. Sampai di resepsionis, saya diberi tahu ruangannya. Ruang 106, ada di lantai 2. Sampai sana, sudah ada beberapa orang. Masih muda-muda juga. Ada beberapa orang yang berpakaian rapi, seperti mau ke kantor. Mereka pake kemeja yang ujungnya dimasukkan, dan sepatu vantofel mengkilap. Saya cuma pake kaos dan sandal. Kontras 😐

Berhubung tes belum segera dimulai, saya menyempatkan diri makan beberapa potong biskuit. Enaknya sih diputer dulu, dijilat, trus dicelupin. Tapi apa daya, langsung sekali embat aja lalu dikunyah. Sungkan kalo dilihat para peserta lain. Kami sempat dipersilakan untuk ke kamar mandi karena waktu tes nanti tidak boleh meninggalkan ruangan untuk alasan apapun. Rupanya tes baru dimulai sekitar 08.15. Sesuai petunjuk kemarin, saya mengenakan jaket. Rupanya dugaan saya benar. Ruangan itu sangat dingin. ACnya keterlaluan, sampai-sampai jari-jari tangan saya terasa agak kaku.

Dua jam kemudian tes selesai. Lega rasanya. Semua soal terjawab, meski ada beberapa jawaban yang tidak meyakinkan. Terutama di listening dan structure. Selesai tes, saya langsung keluar ruangan. Kata resepsionis, hasil bisa diambil jam 3. Nah, bingung mau ke mana, saya pun mengsms beberapa teman yang tinggal di Jakarta dan berharap ada yang bisa dikunjungi. Namun rupanya pada sibuk semua. Saya pun akhirnya meniggalkan kampus LIA, menuju warung makan. Maklum, energi sarapan tadi pagi sudah menguap di ruang freezer. Sehabis makan siang dan beli nasi bungkus untuk bekal di kereta nanti malam, saya menuju masjid terdekat untuk sholat dhuhur. Habis sholat, masih belum jelas mau ke mana. Hingga akhirnya saya tidur di dalam masjid. Sekitar jam 2, kenyamanan tidur saya terganggu oleh seseorang. Seorang takmir melarang saya tidur di dalam T.T. Akhirnya cuma duduk-duduk di luar sambil memandangi hujan yang turun dengan derasnya.

Menjelang waktu ashar, rupanya panggilan alam kembali memaksa saya mencari kloset. Di luar dugaan, WC masjid ternyata digembok. Di pintu tertulis: “BUKAN WC UMUM”. Huadeeeehhh, ini privatisasi masjid namanya -___-“. Setelah sholat ashar (sambil menahan sesuatu – makhruh ya kayaknya, tapi mau gimana lagi), waktu menunjukkan sekitar pukul 15.30. Saya segera menuju kampus LIA yang jaraknya hanya 100an meter dari masjid. Begitu masuk lobi, saya langsung ke resepsionis untuk menanyakan hasil tes. Setelah mengisi tanda pengambilan, amplop langsung saya buka. Dan, wow! Skor 548. Alhamdulillah… Walaupun nggak tinggi-tinggi amat, tapi sudah di luar dugaan. Haha. Langsung saya tanya ke mas resespionis, kamar kecil ada di mana. Fiuh, lega deh.

Misi selesai, saatnya kembali ke base camp. Saya menuju stasiun Cawang, berencana naik KRL ke stasiun Pasar Senen. Tetapi sampai di stasiun, rupanya kereta sedang mogok. Tercium aroma sesuatu yang terbakar. Tidak mau ambil resiko terlambat gara-gara nunggu kereta diperbaiki, akhirnya saya mencari halte busway. Setelah naik ke jalan layang di samping stasiun, lalu naik ojek, sampailah di halte busway. Setelah perjalanan sekitar setengah jam, sampailah di halte Senen, lalu jalan kaki ke stasiun. Sampai sana waktu menunjukkan pukul setengah 5 sore lebih. Setelah cukup lama menanti di ruang tunggu, sekitar pukul 18.10 kereta Gumarang tujuan Surabaya pun datang. Sampai di kursi yang saya booking, lagi-lagi sudah ditempati orang lain. Kali ini seorang ibu-ibu. Pada waktu pembelian tiket secara online, saya sengaja memilih tempat duduk di dekat jendela biar bisa lihat-lihat pemandangan. Sayang, kedua-duanya gagal. Ibu ini dari Jakarta mau ke Surabaya. Singkat cerita, kami pun berpisah di stasiun Bojonegoro.

Hari-H (Kamis, deadline)

Begitu turun dari kereta, rupanya teman saya sudah menjemput. Kami pun segera menuju base camp. Siangnya, sertifikat TOEFL itu saya scan, lalu saya upload. Alhamdulillah. Selesai sudah perburuan sertifikat TOEFL. Lengkap sudah berkas pendaftaran. Apapun hasil ‘apply’nya nanti, semoga barokah. Niat dan perbuatan yang baik tidak akan sia-sia. Aamiin. Insya Allah.

Penampakan Sertifikat EPT

Penampakan Sertifikat EPT

  • Rekapitulasi biaya:

A. Transport: (tidak termasuk ke TMII)

  1. Bojonegoro – Jakarta Kota (Kereta Gumarang, Ekonomi AC): 257,5 rb (tiket 250rb + biaya layanan pelanggan 7,5rb)
  2. Jakarta Kota – Cawang (KRL): gratis
  3. Cawang – Lenteng Agung (KRL, gerbong AC): 8rb
  4. Lenteng Agung – Jagakarsa (ojek): 15rb
  5. Jagakarsa – Lenteng Agung (angkot + ojek): 11rb
  6. Lenteng Agung – Cawang (KRL, gerbong AC): 8rb
  7. Cawang – Halte Busway Gelanggang Remaja Cikoko (ojek: kata bapaknya jauh, ternyata deket. Mestinya naik angkot, turun Halte Cawang Otista/Otto Iskandardinata): 7rb
  8. Cikoko – Senen (Busway): 3,5rb
  9. Pasar Senen – Bojonegoro (Kereta Gumarang, Bisnis): 192,5rb (tiket 185rb + biaya 7,5rb)

B. Tes TOEFL (EPT/English Proficiency Test 225rb + ODS 50rb): 275rb

C. Konsumsi: sekitar 35rb (makan & minum 3x. tidak termasuk ditraktir. hehe)

Total: + 812,5rb

  • Special thanks to:
  1. Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya
  2. Mas Jauhar, atas tumpangan menginap dan traktirannya
  3. Mas Hamidi, atas tambahan uang sakunya
  4. Ibu-dari-surabaya, atas saran dan infonya
  5. Mas Guntur, atas antar jemputnya, juga Mas Dayat, Mas Baroto
  6. Mas-pengendara-motor, atas tumpangannya
  7. Siapapun yang sempat-sempatnya membaca tulisan ini sampai selesai 😀
  • Pelajaran penting dari perjalanan ini:
  1. Setiap ada kemauan dan usaha, pasti ada jalan
  2. Tidak ada sesuatu yang instan, termasuk nilai TOEFL 😀
  3. Jangan mudah merasa puas, belajarlah lebih keras lagi
  4. Persiapkan bekal sebaik mungkin sebelum bepergian
  5. Jangan menyia-nyiakan kesempatan berbuat baik (tidak tertulis di cerita)
  6. Silakan lanjutkan sendiri…

40 respons untuk ‘Travelling #130304: Berburu Sertifikat TOEFL ‘Kilat’

  1. dzikrina berkata:

    wah, super sekali perjuanganmu Ali..
    makasih juga lho sudah menyertakan info nyari tes TOEFL di Jogja & Jakarta. Semoga sukses aplikasi kerjaanmu. All the best insyaAllah….

  2. Super perjuangan. Menggapai tujuan baik dengan cara baik(karena masih banyak yg mencoba “cara belakang” yang pasti tidak kami layani…. Congrats that you went for it. Maaf LIA Jogja belum dapat melayani ODS_semua hasil diolah di Jakarta.

  3. nining berkata:

    saluuuuut!
    ni saya jg lagi serching2 tes toefl yg cepat dan biaya tepat (tepat di kantong saya maksudnya haha :D) eh nemu blog ini, baca dulu deh . . .
    sama, saya jg nggak sreg sm yg instan2, semoga dimudahkan lah. aamiin

  4. zahra berkata:

    Subhanallah, mas ini cerita perburuan srtifikat toefl bisa dijadiin buku.. hahahaha saya ketawa-ketawa sendiri bacanya. Lucu banget, ngebayangin masnya di cerita itu. Makasih banget ini untuk infonya mas. 😁😄😃

  5. waaah… membaca tulisan ini jadi termotivasi untuk lebih giat dan senantiasa mencari jalan keluar alias pantang menyerah. terimakasih bnyak 😀

  6. mafifnugraha berkata:

    Yahh mas…itu EPT toefl bukan itp? 225rb? Kemahalan mas 😦

    Mending itp skalian

    Klo blci bandung prediction mnurutku level toeflny sekelas ept itu biayanya 75 -80 rb aja…hari H tes..besokny lgsg ambil

  7. Hasna berkata:

    Mas mau tanya, tes di LIA tersebut hanya prediksi toefl saja?
    kalau saya tes di situ dan hasil nya itu bisa saya jadikan bahwa itu adalah hasil toefl saya?
    Karena saya butuh sertifikat toefl untuk persyaratan beasiswa, bisa kah pake EPT?

  8. Tamara berkata:

    Assalamuallaikum.. keren sekali pengalaman nya.. hasil tidak menipu perjuangan. kalau boleh, share biaya test toefl terbaru di LIA, dengan tips tips jitu untuk sukses test toefl..
    jazakumullah 🙏

  9. Juan berkata:

    subhanallah … sangat menginsipirasi pengalamannya mas, jadi termotivasi buat saya untuk ikut test toefl juga. kalau blh tahu sekarang kerja d mana mas?

  10. Rizka Rachmaniar berkata:

    bahahaha kocak. Btw, kenapa jadi ambilnya yang EPT? Ga yang ITP ? soalnya EPT bukannya bisa di kampus UGM ya? Hmm trus saya taunya EPT udah beda sama TOEFL. Bingung, soalnya mau ke LIA itu juga

      • Rizka Rachmaniar berkata:

        oh kirain ITP juga bisa ODS. hmm yayaya. 2 mingguan sih kalo ITP (kalo dari yang udah-udah). oke deh makasih baang

Tinggalkan Balasan ke dzikrina Batalkan balasan